Bekasi, 4 Juli 2019.

Quo Vadis Pembaharuan Sistem Pengadilan: Peluang dan Tantangan e-court
Diskusi Kamisan kembali lagi digelar di Fakultas Hukum UBJ. Kali ini, membahas soal pembaharuan sistem pengadilan. Hadir sebagai narasumber adalah Gregory Churchill pakar senior dan Rahmat Saputra dosen FH UBJ.
Diskusi diawali oleh sambutan Dekan FH UBJ, Dr. Slamet Pribadi, SH, MH. Dalam sambutannya, ia berkata ‘tradisi diskusi Kamisan dalam riwayat agama dan tanah jawa itu sakral, menyambut hari baik, yakni jumat.’
Jadi harapannya forum ini bisa meningkatkan kualitas iklim intelektual FH UBJ. Ia berterima kasih kepada Gregory Churchill berkenan hadir dalam diskusi kali ini.
Greg, panggilan akrab Gregory Churchill, adalah pakar hukum senior lulusan Harvard Law School yang lama melalang buana di dunia hukum Indonesia. Ia menjadi senior konsultan di kantor hukum Ali Budiardjo Nugroho, Reksodiputro (ABNR). Dan ia juga konsultan reformasi hukum dan sektor yudisial di Indonesia. Advisior of the Netherlands-Indonesia Nation Legal Reform Program 2008-2010.
‘Saya di Indonesia sejak tahun 1976, dan mengikuti beberapa proses’ ujar Pak De Greg, julukan Dekan Fakultas Hukum UBJ sebagai rasa hormat kepada Greg yang notabbene orang Bule.
Greg percaya bahwa awalnya paska kemerdekaan, pengadilan Indonesia di tengah persimpangan sistem satu atap atau dua atap. Belanda meninggalkan sistem dua atap, yang dibawa dari sistem hukum Prancis. Perdebatan ini berlangsung cukup lama.
Dalam perkembangannya, pembaharuan sistem pengadilan terus diperbincangkan.
Pada suatu seminar di Aceh, pernah dibicarakan oleh BPHN bagaimana memperbaiki putusan hakim. Mulai dari metode penalaran hukumnya, penulisannya dan penyimpanannya, dan seterusnya. Hal itu, terjadi pada tahun 1970-an.
Di waktu yang lain, Stichting voor Samenwerken pada tahun 1980-an bekerja sama dengan Mahkamah Agung. Pada saat itu sudah ada pewacanaan sistem komputer dan modernisasi pengadilan dihembuskan.
Hingga muncul sebuah riset, bertajuk ‘Diagnose study of legal development in Indonesia,’ tim yang dipimpin oleh Mochtar Kusumaatmadja, begitu juga ibu Sunaryati Hartono sebagai salah satu anggotanya. Meskipun, banyak pakar menyayangkan kata ‘diagnosa’ di dalamnya. Namun pembinaan karier hukum, pendidikan hukum, penyelesaian perkara di luar pengadilan, proses legislasi perlu diperhatikan.
Studi ini juga dilakukan dengan melakukan survei terhadap persepsi sosial masyarakat. Studi-studi seperti ini sangat menarik, untuk digunakan dalam pembaharuan sistem pengadilan.
Banyak studi, mengatakan bahwa, pengadilan pada akhirnya lebih ditentukan oleh politik ekonomi. Umpamanya, pada tahun 1997, pidato Soeharto lebih banyak menyorot bagaimana Indonesia membutuhkan bantuan IMF. Dan, atas dorongan lembaga keuangan internasional, revitalisasi pengadilan niaga dimunculkan setelahnya.
Setelah tahun 2000-an, tuntutan perkembangan industri dan investasi, pengadilan pun mulai berbenah. Sayangnya, jarang juga hakim yang mempunyai pemahaman studi perekonomian dan bisnis yang berkembang di lapangan. ‘Sudah lama, hakim terasing dengan perkembangan yang terjadi.’ Ujar Greg
Hingga mulai muncul hakim yang berkompetensi dengan lahirnya sistem pengadilan ad hoc. Hakim yang punya kapasitas cukup tinggi. Namun mereka berjuang untuk bisa memunculkan opini berbeda (dissenting opinion).
Namun sistem (opini berbeda) ini kurang begitu akrab di tradisi hukum pengadilan Indonesia. Pada perkembangannya, hakim awalnya diperbolehkan menyusun pendapat berbeda, namun bukan merupakan bagian dari putusan. Ia pun boleh menyimpan di arsip resmi pengadilan.
Dilema Sistem Karier
Sistem karier masih cukup berat untuk menyokong pembaharuan. Khususnya untuk menyuguhkan spesialisasi. Tradisinya, jika ada UU baru, sosialisasi dilakukan kepada seluruh hakim. Bagus, namun kurang efektif dan efisien. Akhirnya, tak muncul spesialisasi.
Banyak hakim yang tidak mau mendaftar jika ada suatu pengadilan ad hoc baru. Karena dianggap di sana adalah lembaga dengan karier buntu.
Al kisah. Seorang Ketua Mahkamah Agung Belanda, ditanya mau ke mana setelah selesai. Ia menjawab dengan ringan. ‘Saya mau kembali ke pengadilan Amsterdam. Semua orang kaget. Tapi sang ketua ini menjelaskan suka bercengkerama dengan masyarakat dan fakta di tingkat pertama.’ Cerita Greg.
Maka ke depan perlu diperbaiki sistem karier ini. Hingga suatu saat, sistem karier ini perlu didampingi oleh pembaharuan sistem pendidikan hukum, pendokumentasian hukum, dan penelitian hukum yang mumpuni.
e-Court

Pemaparan oleh Rahmat Saputra , SH, MH. dengan tema “Penerapan Administrasi Perkara Di Pengadilan Secara Elektronika (E-Court) Menuju Revolusi Industri 4.0” .
Berawal dari sulitnya mencari keadilan di Indonesia. Maka harus ada pembaharuan hukum di Indonesia. Maka diperlukan adanya E-Court dalam semua proses administrasi perkara di pengadilan termasuk sistem pembayaranya. Susahnya akses terhadap keadilan membuat pengadilan perlu melakukan reformasi. Pengadilan dengan biaya murah, cepat dan tidak berbelit-belit terus menjadi impian. Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 3 Tahun 2018 yang mendorong pengadilan secara elektronik atau e-court. Dengan adanya sistem pengadilan elektronik ini, maka Pengadilan Indonesia ini hampir sama dengan Inggris dan Amerika yang sudah menggunakan sistem yang sama. ‘Dengan adanya e-court, harapannya lebih praktis beracara di pengadilan.’ kata Rahmat.

Awalnya sistem elektronik ini digunakan untuk kasus perdata. Namun dengan ke depan akan dikembangkan di bidang tata usaha negara, pidana dan militer.
Dengan adanya pengadilan secara elektronik, beberapa pekerjaan bisa lebih efisien. Seperti, pendaftaran perkara online, pembayaran panjar biaya online (e-SKUM), pengunggahan dokumen persidangan seperti replik dan duplik serta surat-surat yang berkaitan, sampai pemanggilan elektronik (e-Summons).
Sayangnya, sistem ini nampaknya masih sepi peminat.

Amar

Diskusi Asyiik Kamisan dengan Tema “Pembaharuan Sistem Peradilan di Indonesia”